Bersaing dengan Warga, Gubernur Pastika Diduga Arahkan HPL untuk Investor
Singaraja, Suara Buleleng - Perjuangan warga Desa Sumberkelampok Kecamatan Gerokgak untuk mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah yang mereka tempati itu sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. Namun secara resmi, mereka mulai melakukan berbagai aksi penyampaian aspirasi sejak 7 November 1991 atau sejak 22 tahun lalu.
Aksi doa bersama yang berbuntut pada pemblokiran Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk yang mereka lakukan pada Kamis (7/11) itu sebenarnya untuk memperingati 22 tahun perjuangan mereka. Dengan sengaja mereka melakukan doa bersama di palinggih di Balai Banjar Sumber Batok, karena 22 tahun lalu, aksi pertama juga dilakukan di palinggih itu.
''Sebenarnya, perjuangan untuk mendapatkan tanah itu sudah dilakukan sejak saya belum lahir, namun awal perjuangan secara resmi dilakukan sejak 7 November 1991 di pura ini,'' kata Perbekel Sumberkelampok, Putu Artana, Sabtu (9/11) kemarin.
Setelah selama 22 tahun berjuang, ternyata warga tak mendapatkan hasil yang memuaskan. Hingga kini, semua tanah di Desa Sumberkelampok tak ada sertifikatnya. Bukan hanya tanah yang ditempati warga sejak puluhan tahun lalu, bahkan kantor desa, sekolah dan fasisitas pemerintah di Sumberkelampok juga tak memiliki sertifikat. Padahal, Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah tersebut yang dimiliki dua perusahaaan yakni PT Margarana dan PT Dharma Jati, sudah habis masa berlakunya. Tanah itu bahkan seperti tak ada yang memedulikan sehingga sangat tepat disebut tanah telantar.
Luas tanah yang dimohon itu sekitar 600 hektar berlokasi di Sumberkelampok. Terdiri dari eks HGU PT Margarana unit II seluas 267 hektar dan Unit III seluas 151 hektar, serta HGU eks Dharma Jati seluas 230 hektar.
Meski tak ada yang memedulikan, namun warga tetap tak mendapatkan hak untuk menjadi pemilik sah tanah tersebut. Bahkan belakangan, warga kaget ketika mendapat penjelasan dari Pemprov Bali bahwa tanah tersebut merupakan milik Pemprov Bali. Lebih kaget lagi, Pemprov Bali ternyata ikut bersaing dengan warga untuk memohon Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas tanah itu. ''Seharusnya, Gubernur memberi dukungan terhadap permohonan warga, bukan malah ikut memohon HPL,'' kata Perbekel Artana.
Perbekel Artana mengatakan pihaknya tidak mengetahui maksud Pemprov Bali ikut memohon HPL, apakah akan dikolola sendiri atau akan disewakan kepada investor atau pihak ketiga. Namun, dia menduga jika investor yang memohon biasanya dipenuhi. Sementara jika rakyat yang memohon, sangat susah, ujarnya.
Menurutnya, jika Pemprov Bali sudah mendapatkan HPL atas tanah itu, maka kemudian arahnya akan ada Hak Guna Bangunan (HGB) dan HGU yang mengarah pada penguasaan investor atau pihak ketiga. ''Mudah-mudahan HPL dimohon untuk diberikan kepada rakyat Sumberkelampok, bukan kepada investor,'' kata Mulyadi Putra. (BP)

Dari, Oleh, Untuk Buleleng
Dapatkan Info Terbaru Dari Suara Buleleng
Masukkan alamat e-mail Anda agar kami dapat mengirimkan Berita Terbaru langsung ke mailbox Anda
Share This Post
Topik Terkait
Tanah akan selalu menjadi sumber konflik di Bali...
BalasHapus